Wawancara
Eksklusif bersama Kang Mujib
Jika kita pernah menngetahui tentang sejarah budaya
membaca di negeri ini dan para ulama zaman dahulu mungkin saja kita akan langsung
berlomba untuk membeli buku kemudian kita baca habis dalam sehari itu juga. Indonesia
sudah banyak tertinggal dengan negara lain terlebih mengenai ilmu pengetahuan
dan intelektualnya. Semangat membaca bangsa Indonesia yang tidak sekuat negara
lain sangat mempengaruhi hal ini. Dalam tradisi membaca Indonesia ketinggalan
jauh dengan negara lain seperti Amerika, Jerma, Jepang, dan masih banyak lagi.
Padahal tidak ada orang besar yang lahir tanpa melewati membaca.
Ahmad Mujib El Shirazy atau yang lebih akrab disapa
dengan Kang Mujib adalah salah seorang penggiat budaya membaca. Semenjak
pertama kali beliau menjabat sebagai dosen Sejarah Peradaban Islam (SPI) di
Unissula, geliat tradisi membaca mulai dirasakan oleh sebagian mahasiswa. Dosen
yang sekaligus menjadi penutur Kejernihan Indonesia ini cukup disegani di
lingkungan kampus Unissula. Hal demikian dapat terjadi karena kepedulianya
terhadap mahasiswa. Kini Komunitas Penikmat Buku yang beliau rintis bersama teman-teman
Rumah Pena dan para mahasiswa SPI telah ramai diikuti oleh mahasiswa dari
berbagai fakultas di Unissula. Bahkan terkadang kajian dari komunitas ini juga
menarik minat mahasiswa dari universitas lain untuk ikut bergabung ke dalamnya.
Budaya membaca yang telah dilakukan oleh ayah satu
anak ini mulai mewabah juga dikalangan mahasiswa. Kebiasaan yang sudah menjadi
bagian dari hidupnya itu kini tak bisa lagi lepas dari hidup beliau layaknya
candu. Kita dapat melihat bahwa membaca membaca bagi Kang Mujib telah menjadi
kebutuhan pokok yang menuntut untuk dipenuhi.
Buku-buku karangan beliau sendiri serta buku hasil kolaborasinya
dengan Prof. Laode M Kamaludin (Rektor Unissula) hingga kini terus bertambah. Tak
bisa dipungkiri buku-buku tersebut sangat menggugah dan inspiratif, sehingga
semakin diminati para penikmat buku. Capaian beliau tersebut tidak lepas dari
kebiasaan membaca buku yang ia lakukan secara istiqomah.
Tulisan di atas adalah sepenggal kisah dari tokoh yang
patut kita teladani sebagai penggiat budaya membaca khususnya. Meskipun beliau
tidak merasa menjadi penggiat seperti ujarnya saat diwawancarai oleh kami.
Ingin tahu lebih dalam bagaimana penuturan beliau mengenai budaya yang terasa
mulai menguap dewasa ini? Mari simak hasil wawancara reporter Rausyan Fikr bersama
Kang Mujib mengenai budaya membaca berikut ini.
Apa yang menginspirasi Anda untuk menjadi penggiat
budaya membaca khususnya di Unissula?
Sebenarnya hal yang mendorong saya adalah rasa keprihatinan
dengan kondisi membaca di Unissula saat kali pertama saya datang ke sini. Saya
rasa ada sesuatu yang hilang dari tradisi intelektual yang telah menjadi
tradisi para founding father bangsa kita. Coba kita tengok para ulama besar sukses karena membaca. Soekarno, Moh Hatta, Buya Hamka dan
msih banyak lagi yang bersinar dengan sejumlah karya mereka. Kesuksesan mereka
semua tidak lepas dari budaya membaca yang telah mengakar kuat. Sesuai dengan ayat
Al Qur’an yang pertama kali diturunkan Allah, yaitu kita sebagai umat Islam
diperintahkan untuk membaca. Jadi intinya ya kalau ingin sukses maka budayakanlah
membaca!
Bagaimana dulu Anda mengawalinya gerakan Anda?
Awal mula saya menghidupkan budaya membaca adalah saat
saya diundang oleh UKM Rumah Pena Unissula untuk menjadi pembicara tentang
kepenulisan di Salatiga. Mulai dari sinilah mulai ada komunitas, jadi bukan
saya sendiri yang merintisnya. Pertama kali jumlah yang ikut kajian mencapai 30
orang, namun cuma bertahan selama dua minggu. Selebihnya hanya tinggal empat
orang saja. Nah, kemudian saat ada
program double degree Sejarah Peradaban Islam saya jadikanlah
mahasiswa SPI sebagai “kelinci percobaan” dan karena saya juga menjadi dosen
SPI di sana. Maka, setiap kali bertemu saya tekankan pada mereka harus ada
minimal satu buku yang sudah mereka baca yang kemudian dapat kami bedah
bersama. Alhamdulillaah, tradisi tersebut itu dapat berjalan sampai saat ini dan mampu menumbuhkan minat
mahasiswa untuk membaca dan berdiskusi. Mulai dari sinilah bermunculan pula
komunitas-komunitas atau kajian diskusi yang lain di Unissula.
Capaian apa yang sudah bapak rasakan dalam membaca
buku?
Sebenarnya standar capaian keilmuan itu tidak ada
batasnya. Tapi saya merasakan banyak faedah yang saya rasakan. Awalnya saya
merasa asing dengan dunia intelektual karena sejak kecil, dunia yang saya kenal
bersama teman-teman adalah pesantren. Setiap hari yang saya kenal hanya kitab
saja. Jadi ya saya termasuk terlambat dalam mengenal budaya membaca. Tapi saya
beruntung karena telat menyadari betapa nikmatnya membaca itu. Karena telat
itulah saya benar-benar merasakan kenikmatan membaca di saat orang lain tengah merasa
bosan dan jenuh dengan membaca tapi saya baru memulai. Kalau faedah yang saya
dapatkan banyak sekali. Karena membaca omongan saya bisa didengar orang dan bisa
bicara di depan menteri. Karena membaca pula saya bisa berdialog dengan tenang
bersama para ulama dan orang-orang besar.
Apakah Anda memiliki tujuan khusus ketika awal memulai
membaca buku?
Tentu ada tujuan khusus yaitu ketika saya kelas 3 Madrasah
Aliyah (setara SMA) saya harus melakukan persiapan untuk UN. Ketika itu buku
yang saya baca dari awal hingga akhir adalah Sejarah Peradaban Islam. Mulai dari
situlah saya sadar betapa hebatnya ulama kita dulu. Saya ambil contoh Imam
Bukhori, saat ia menyusun kitab Shahih Bukhari, betapa dahsyat
perjuanganya untuk mengumpulkan hadis
satu demi satu yang memakan waktu sepanjang usianya. Dua puluh tahun lebih ia
lewati untuk mengumpulkan hadis yang tercecer diberbagai belahan dunia. Ada
juga Imam Ghozali yang telah menyusun banyak kitabnya yang terkenal seperti Ihya
Ulumuddiin, Tahafutul Falasifah, dan lain sebagainya.
Dengan membaca pula, sesunggguhnya kita dapat melipat
waktu sejarah. Karena kita tidak perlu menghabiskan waktu sepanjang dan
sebanyak para ulama ketika proses perenungan dan penulisan buku karyanya, jadi
kita cukup dengan membaca buku mereka saja kita sudah dapat menikmati ilmu yang
terdapat di dalamnya. Untuk bisa menikmati kitab Shohih Bukhari kita tidak
perlu seperti Imam Bukhari yang pergi ke berbagai belahan dunia untuk
mengumpulkan hadis. Tidak perlu menghabiskan waktu dua puluh tahun lebih untuk
bisa menikmati hadis Rasulullah. Kita cukup duduk dan membaca karyanya kita
sudah bisa menikmati berbagai hadis tersebut.
Sesungguhnya Islam besar itu karena semangat keilmuan
para ulama dulu yang sangat tinggi. Tidak ada ulama atau ilmuan dahulu yang
hebat tanpa melewati membaca. Oleh sebab itulah saya mulai menggiatkan membaca
pada diri saya karena saya ingin menjadi seperti Imam Ghozali.
Bagaimana dengan kondisi minat baca di Indonesia ?
Kalo ingin jujur membahas Indonesia hari ini
sepertinya hanya sisi negetaif saja yang akan kita bicarakan. Memang minat baca
bangsa Indonesia saat ini masih jauh dengan bangsa lain. Namun, sebenarnya bangsa
kita pernah mengalami fase ketinggian membaca.
Banyak para tokoh nasional yang telah berkontribusi
dengan karyanya yang fenomenal. Kita mengenal Ali Haji (raja kepulauan Riau
ketiks itu) yang
menciptakan pijakan dari salah satu struktur kebahasaan bahasa Indonesia yang terkenal dengan
karyanya gurindam 12. Lalu kita juga mengenal Agus Salim dengan bukunya “Pesan Islam”, yang merupakan hasil
khutbahnya di Amerika. Padahal ia tidak lebih dari lulusan SMP saja. Kemudian ada
lagi, sosok yang sangat kita kenal sekaligus founding father bagsa kita,
Muh Hatta. Hingga kini karyanya masih kita nikmati yaitu “Pengantar Filsafat”. Hebatnya buku itu ia tulis pada saat
masa peperangan.
Nah, kalau kita
lihat dari karya-karya yang telah dihasilkan para tokoh bangsa kita pada waktu
itu sudah luar biasa. Tapi kalo dibandingkan dengan sekarang ini, minat baca
kita turun drastis. Kita saat ini masih jauh dari tradisi membaca. Pada saat
saya di Jerman, saya melihat nenek usia 70 tahunan sedang asik membaca di dalam
kereta. Coba kita bandngkan dengan mahasiswa kita, apa ada yang menyempatkan
waktu senggangnya di kantin atau di taman dengan membaca ?
Apa mungkin tradisi membaca yang kuat dapat terwujud
di Unissula?
Itu mungkin saja terjadi kalau ada kesadaran yang kuat
di kalangan mahasiswa khususnya. Problem para aktivis saat ini mereka tidak
sabar untuk segera terkenal. Ketika saya di organisasi dulu yaitu HMI tidak
begitu, semua kader tidak dizinkan untuk menulis di koran atau apapun sebelum
mereka matang dalam kajian buku. Minimal dua tahun baru mereka diperbolehkan
untuk menampilkan tulisan mereka setelah benar-benar matang di kajian.
Prof. Laode M Kamaludin misalnya, beliau ketika sudah
mapan fondasi intelektualnya baru kemudian menjadi aktivis di mana-mana.
Sehingga beliau bisa sukses dalam dunia intelektual serta pergerakan dan kini
mengantarkan beliau menjadi Rektor Unissula dan juga menjadi orang yang
dipandang di Indonesia.
Sebenarnya tradisi membaca di Unissula saat ini sudah
mulai terbangun dengan bermunculannya komunitas-komunitas kajian buku ataupun
diskusi. Jadi, secara tidak langsung tradisi membaca akan membudaya semakin
kuat mengakar di Unissula. Ketika membaca sudah menjadi tradisi, maka ketika
ada anak yang masuk kampus dan tidak membaca buku, ia akan merasa malu. Tradisi
ini juga telah sukses jika ketika kita berdiskusi sudah seperti bernafas saja.
Itulah ukuranya tradisi membaca sukses terwujud di Unissula.
Mungkin Anda bisa memberikan masukan
kepada universitas untuk mendukung dan berpartisipasi menghidupkan tradisi
membaca?
Semestinya
dalam dunia intelektual paling tidak di setiap jurusan itu ada induk semar
yaitu satu dosen yang memang ditunjuk dan dibayar secara khusus untuk menemani
diskusi mahasiswa, membimbing, menunggui, dan mendengrakan perkembangan
pemikiran mahasiswa.
Seperti
yang terjadi dulu di Malaysia oleh Syekh Naquib Al Attas yg dibangga-banggakan
Ustad Fahmi Zarkasyi telah melakukan hal tersebut. Jadi Syekh Naquib sebelum membesarkan
iptek pada waktu itu yang dilakukan pertama kali adalah belanja buku dari berbagai
belahan dunia, Kemudian beliau mengumpulkan para mahasiswa untuk ikut
berdiskusi di perpustakaan. Semua orang yang tidak paham tentang buku bisa ikut
kajian dan berdiskusi bersama beliau.
Kalau
untuk mahasiswa yang paling memungkinkan sekarang ini adalah dengan membuat
jamaah atau komunitas kajian atau diskusi penikmat buku. Hal sederhana ini jika
dilakukan dengan istiqomah mka akan berdampak sangat besar.
Pesan apa yang ingin Anda sampaikan kepada mahsiswa khususnya?
“Membaca buku atau mati saja!!” Ingin jadi orang yang
intelektual kok tidak mau membaca? Kalau bicara mengenai fasilitas, coba kita
kembalikan lagi pada masa Imam Bukhori. Zaman dahulu belum ada komputer, alat
komunikasi, bahkan tinta saja sulit dicari. Beliau melakukan perjalanan
berbulan-bulan hanya untuk mengumpulkan satu hadits. Bahkan tidak jarang ketika
sampai di tempat tujuan ada informasi bahwa orang yang dicarinya meninggal,
namun itu tidal menyurutkan langkah beliau. Muh Hatta juga ketika siang perang
dan malamnya menulis buku filsafat. Hamka ketika masuk di dalam penjara justru
beliau dapat menghasilkan kitab tafsir Al Azhar. Di Turki ada Badiuzzaman An
Nursi yang paginya perang dan malamnya mengaji kitab tsfsir.
Sebenarnya tidak ada kaitannya dengan fasilitas. Kita
tidak bisa mengharapkan semuanya enak. Justru orang-orang besar lahir karena
keadaan yang tidak mengenakkan mereka. Generasi sekarang sebenarnya sudah
sangat enak dalam hal fasilitas yang bisa mendukung aktivitas membaca mereka
seperti perpustakaan yang nyaman, alat komunikasi, internet, dan lain
sebagainya. Soal referensi buku di perpustakaan yang masih sangat kurang tetap
dapat kita siasati dengan ikut kajian. Kajianlah yang dapat menyelamatkan kita
karena dari sana kita dapat bertukar buku bacaan, diskusi, maka akan jadi
luaslah pengetahuan kita.
Jadi caranya mulailah tradisi ini dari diri sendiri.
Orang Jerman selalu mengatakan, “kalau kamu punya keinginan maka ada ribuan jalan yang bisa
kamu tembus, tapi kalau kamu tidak punya keinginan maka ada ribuan alasan yang
biasa kamu katakan”.