Rabu, 12 Juni 2013

BUDAYA MEMBACA


Wawancara Eksklusif bersama Kang Mujib
Jika kita pernah menngetahui tentang sejarah budaya membaca di negeri ini dan para ulama zaman dahulu mungkin saja kita akan langsung berlomba untuk membeli buku kemudian kita baca habis dalam sehari itu juga. Indonesia sudah banyak tertinggal dengan negara lain terlebih mengenai ilmu pengetahuan dan intelektualnya. Semangat membaca bangsa Indonesia yang tidak sekuat negara lain sangat mempengaruhi hal ini. Dalam tradisi membaca Indonesia ketinggalan jauh dengan negara lain seperti Amerika, Jerma, Jepang, dan masih banyak lagi. Padahal tidak ada orang besar yang lahir tanpa melewati membaca.
Ahmad Mujib El Shirazy atau yang lebih akrab disapa dengan Kang Mujib adalah salah seorang penggiat budaya membaca. Semenjak pertama kali beliau menjabat sebagai dosen Sejarah Peradaban Islam (SPI) di Unissula, geliat tradisi membaca mulai dirasakan oleh sebagian mahasiswa. Dosen yang sekaligus menjadi penutur Kejernihan Indonesia ini cukup disegani di lingkungan kampus Unissula. Hal demikian dapat terjadi karena kepedulianya terhadap mahasiswa. Kini Komunitas Penikmat Buku yang beliau rintis bersama teman-teman Rumah Pena dan para mahasiswa SPI telah ramai diikuti oleh mahasiswa dari berbagai fakultas di Unissula. Bahkan terkadang kajian dari komunitas ini juga menarik minat mahasiswa dari universitas lain untuk ikut bergabung ke dalamnya.
Budaya membaca yang telah dilakukan oleh ayah satu anak ini mulai mewabah juga dikalangan mahasiswa. Kebiasaan yang sudah menjadi bagian dari hidupnya itu kini tak bisa lagi lepas dari hidup beliau layaknya candu. Kita dapat melihat bahwa membaca membaca bagi Kang Mujib telah menjadi kebutuhan pokok yang menuntut untuk dipenuhi.
Buku-buku karangan beliau sendiri serta buku hasil kolaborasinya dengan Prof. Laode M Kamaludin (Rektor Unissula) hingga kini terus bertambah. Tak bisa dipungkiri buku-buku tersebut sangat menggugah dan inspiratif, sehingga semakin diminati para penikmat buku. Capaian beliau tersebut tidak lepas dari kebiasaan membaca buku yang ia lakukan secara istiqomah.
Tulisan di atas adalah sepenggal kisah dari tokoh yang patut kita teladani sebagai penggiat budaya membaca khususnya. Meskipun beliau tidak merasa menjadi penggiat seperti ujarnya saat diwawancarai oleh kami. Ingin tahu lebih dalam bagaimana penuturan beliau mengenai budaya yang terasa mulai menguap dewasa ini? Mari simak hasil wawancara reporter Rausyan Fikr bersama Kang Mujib mengenai budaya membaca berikut ini.
Apa yang menginspirasi Anda untuk menjadi penggiat budaya membaca khususnya di Unissula?
Sebenarnya hal yang mendorong saya adalah rasa keprihatinan dengan kondisi membaca di Unissula saat kali pertama saya datang ke sini. Saya rasa ada sesuatu yang hilang dari tradisi intelektual yang telah menjadi tradisi para founding father bangsa kita. Coba kita tengok para ulama besar sukses karena  membaca. Soekarno, Moh Hatta, Buya Hamka dan msih banyak lagi yang bersinar dengan sejumlah karya mereka. Kesuksesan mereka semua tidak lepas dari budaya membaca yang telah mengakar kuat. Sesuai dengan ayat Al Qur’an yang pertama kali diturunkan Allah, yaitu kita sebagai umat Islam diperintahkan untuk membaca. Jadi intinya ya kalau ingin sukses maka budayakanlah membaca!
Bagaimana dulu Anda mengawalinya gerakan Anda?
Awal mula saya menghidupkan budaya membaca adalah saat saya diundang oleh UKM Rumah Pena Unissula untuk menjadi pembicara tentang kepenulisan di Salatiga. Mulai dari sinilah mulai ada komunitas, jadi bukan saya sendiri yang merintisnya. Pertama kali jumlah yang ikut kajian mencapai 30 orang, namun cuma bertahan selama dua minggu. Selebihnya hanya tinggal empat orang saja. Nah, kemudian saat ada  program double degree Sejarah Peradaban Islam saya jadikanlah mahasiswa SPI sebagai “kelinci percobaan” dan karena saya juga menjadi dosen SPI di sana. Maka, setiap kali bertemu saya tekankan pada mereka harus ada minimal satu buku yang sudah mereka baca yang kemudian dapat kami bedah bersama. Alhamdulillaah, tradisi tersebut itu dapat berjalan  sampai saat ini dan mampu menumbuhkan minat mahasiswa untuk membaca dan berdiskusi. Mulai dari sinilah bermunculan pula komunitas-komunitas atau kajian diskusi yang lain di Unissula.
Capaian apa yang sudah bapak rasakan dalam membaca buku?
Sebenarnya standar capaian keilmuan itu tidak ada batasnya. Tapi saya merasakan banyak faedah yang saya rasakan. Awalnya saya merasa asing dengan dunia intelektual karena sejak kecil, dunia yang saya kenal bersama teman-teman adalah pesantren. Setiap hari yang saya kenal hanya kitab saja. Jadi ya saya termasuk terlambat dalam mengenal budaya membaca. Tapi saya beruntung karena telat menyadari betapa nikmatnya membaca itu. Karena telat itulah saya benar-benar merasakan kenikmatan membaca di saat orang lain tengah merasa bosan dan jenuh dengan membaca tapi saya baru memulai. Kalau faedah yang saya dapatkan banyak sekali. Karena membaca omongan saya bisa didengar orang dan bisa bicara di depan menteri. Karena membaca pula saya bisa berdialog dengan tenang bersama para ulama dan orang-orang besar.
Apakah Anda memiliki tujuan khusus ketika awal memulai membaca buku?
Tentu ada tujuan khusus yaitu ketika saya kelas 3 Madrasah Aliyah (setara SMA) saya harus melakukan persiapan untuk UN. Ketika itu buku yang saya baca dari awal hingga akhir adalah Sejarah Peradaban Islam. Mulai dari situlah saya sadar betapa hebatnya ulama kita dulu. Saya ambil contoh Imam Bukhori, saat ia menyusun kitab Shahih Bukhari, betapa dahsyat perjuanganya untuk  mengumpulkan hadis satu demi satu yang memakan waktu sepanjang usianya. Dua puluh tahun lebih ia lewati untuk mengumpulkan hadis yang tercecer diberbagai belahan dunia. Ada juga Imam Ghozali yang telah menyusun banyak kitabnya yang terkenal seperti Ihya Ulumuddiin, Tahafutul Falasifah, dan lain sebagainya.
Dengan membaca pula, sesunggguhnya kita dapat melipat waktu sejarah. Karena kita tidak perlu menghabiskan waktu sepanjang dan sebanyak para ulama ketika proses perenungan dan penulisan buku karyanya, jadi kita cukup dengan membaca buku mereka saja kita sudah dapat menikmati ilmu yang terdapat di dalamnya. Untuk bisa menikmati kitab Shohih Bukhari kita tidak perlu seperti Imam Bukhari yang pergi ke berbagai belahan dunia untuk mengumpulkan hadis. Tidak perlu menghabiskan waktu dua puluh tahun lebih untuk bisa menikmati hadis Rasulullah. Kita cukup duduk dan membaca karyanya kita sudah bisa menikmati berbagai hadis tersebut.
Sesungguhnya Islam besar itu karena semangat keilmuan para ulama dulu yang sangat tinggi. Tidak ada ulama atau ilmuan dahulu yang hebat tanpa melewati membaca. Oleh sebab itulah saya mulai menggiatkan membaca pada diri saya karena saya ingin menjadi seperti Imam Ghozali.
Bagaimana dengan kondisi minat baca di Indonesia ?
Kalo ingin jujur membahas Indonesia hari ini sepertinya hanya sisi negetaif saja yang akan kita bicarakan. Memang minat baca bangsa Indonesia saat ini masih jauh dengan bangsa lain. Namun, sebenarnya bangsa kita pernah mengalami fase ketinggian membaca.
Banyak para tokoh nasional yang telah berkontribusi dengan karyanya yang fenomenal. Kita mengenal Ali Haji (raja kepulauan Riau ketiks itu) yang menciptakan pijakan dari salah satu struktur kebahasaan bahasa Indonesia yang terkenal dengan karyanya gurindam 12. Lalu kita juga mengenal Agus Salim dengan bukunya “Pesan Islam”, yang merupakan hasil khutbahnya di Amerika. Padahal ia tidak lebih dari lulusan SMP saja. Kemudian ada lagi, sosok yang sangat kita kenal sekaligus founding father bagsa kita, Muh Hatta. Hingga kini karyanya masih kita nikmati yaitu “Pengantar Filsafat”. Hebatnya buku itu ia tulis pada saat masa peperangan.
Nah,  kalau kita lihat dari karya-karya yang telah dihasilkan para tokoh bangsa kita pada waktu itu sudah luar biasa. Tapi kalo dibandingkan dengan sekarang ini, minat baca kita turun drastis. Kita saat ini masih jauh dari tradisi membaca. Pada saat saya di Jerman, saya melihat nenek usia 70 tahunan sedang asik membaca di dalam kereta. Coba kita bandngkan dengan mahasiswa kita, apa ada yang menyempatkan waktu senggangnya di kantin atau di taman dengan membaca ?
Apa mungkin tradisi membaca yang kuat dapat terwujud di Unissula?
Itu mungkin saja terjadi kalau ada kesadaran yang kuat di kalangan mahasiswa khususnya. Problem para aktivis saat ini mereka tidak sabar untuk segera terkenal. Ketika saya di organisasi dulu yaitu HMI tidak begitu, semua kader tidak dizinkan untuk menulis di koran atau apapun sebelum mereka matang dalam kajian buku. Minimal dua tahun baru mereka diperbolehkan untuk menampilkan tulisan mereka setelah benar-benar matang di kajian.
Prof. Laode M Kamaludin misalnya, beliau ketika sudah mapan fondasi intelektualnya baru kemudian menjadi aktivis di mana-mana. Sehingga beliau bisa sukses dalam dunia intelektual serta pergerakan dan kini mengantarkan beliau menjadi Rektor Unissula dan juga menjadi orang yang dipandang di Indonesia.
Sebenarnya tradisi membaca di Unissula saat ini sudah mulai terbangun dengan bermunculannya komunitas-komunitas kajian buku ataupun diskusi. Jadi, secara tidak langsung tradisi membaca akan membudaya semakin kuat mengakar di Unissula. Ketika membaca sudah menjadi tradisi, maka ketika ada anak yang masuk kampus dan tidak membaca buku, ia akan merasa malu. Tradisi ini juga telah sukses jika ketika kita berdiskusi sudah seperti bernafas saja. Itulah ukuranya tradisi membaca sukses terwujud di Unissula.
Mungkin Anda bisa memberikan masukan kepada universitas untuk mendukung dan berpartisipasi menghidupkan tradisi membaca?
Semestinya dalam dunia intelektual paling tidak di setiap jurusan itu ada induk semar yaitu satu dosen yang memang ditunjuk dan dibayar secara khusus untuk menemani diskusi mahasiswa, membimbing, menunggui, dan mendengrakan perkembangan pemikiran mahasiswa.
Seperti yang terjadi dulu di Malaysia oleh Syekh Naquib Al Attas yg dibangga-banggakan Ustad Fahmi Zarkasyi telah melakukan hal tersebut. Jadi Syekh Naquib sebelum membesarkan iptek pada waktu itu yang dilakukan pertama kali adalah belanja buku dari berbagai belahan dunia, Kemudian beliau mengumpulkan para mahasiswa untuk ikut berdiskusi di perpustakaan. Semua orang yang tidak paham tentang buku bisa ikut kajian dan berdiskusi bersama beliau.
Kalau untuk mahasiswa yang paling memungkinkan sekarang ini adalah dengan membuat jamaah atau komunitas kajian atau diskusi penikmat buku. Hal sederhana ini jika dilakukan dengan istiqomah mka akan berdampak sangat besar.
Pesan apa yang ingin Anda sampaikan kepada mahsiswa khususnya?
“Membaca buku atau mati saja!!” Ingin jadi orang yang intelektual kok tidak mau membaca? Kalau bicara mengenai fasilitas, coba kita kembalikan lagi pada masa Imam Bukhori. Zaman dahulu belum ada komputer, alat komunikasi, bahkan tinta saja sulit dicari. Beliau melakukan perjalanan berbulan-bulan hanya untuk mengumpulkan satu hadits. Bahkan tidak jarang ketika sampai di tempat tujuan ada informasi bahwa orang yang dicarinya meninggal, namun itu tidal menyurutkan langkah beliau. Muh Hatta juga ketika siang perang dan malamnya menulis buku filsafat. Hamka ketika masuk di dalam penjara justru beliau dapat menghasilkan kitab tafsir Al Azhar. Di Turki ada Badiuzzaman An Nursi yang paginya perang dan malamnya mengaji kitab tsfsir.
Sebenarnya tidak ada kaitannya dengan fasilitas. Kita tidak bisa mengharapkan semuanya enak. Justru orang-orang besar lahir karena keadaan yang tidak mengenakkan mereka. Generasi sekarang sebenarnya sudah sangat enak dalam hal fasilitas yang bisa mendukung aktivitas membaca mereka seperti perpustakaan yang nyaman, alat komunikasi, internet, dan lain sebagainya. Soal referensi buku di perpustakaan yang masih sangat kurang tetap dapat kita siasati dengan ikut kajian. Kajianlah yang dapat menyelamatkan kita karena dari sana kita dapat bertukar buku bacaan, diskusi, maka akan jadi luaslah pengetahuan kita.
Jadi caranya mulailah tradisi ini dari diri sendiri. Orang Jerman selalu mengatakan, “kalau kamu punya  keinginan maka ada ribuan jalan yang bisa kamu tembus, tapi kalau kamu tidak punya keinginan maka ada ribuan alasan yang biasa kamu katakan”.

1 komentar: