Urgensitas Pendidikan
Dunia pendidikan
pada setiap Negara memiliki peranan serta fungsi yang sangat vital. Erat
kaitanya dengan kemajuan suatu bangsa. Disamping kesehatan serta perekonomian, pendidikan
juga dijadikan sebagai barometer dalam menilai kemajuan sebuah bangsa.
Maka sebab itulah, Negara terus
melakukan upaya dalam membenahi sistem pendidikanya.
Bila diamati,
sector pendidikan dibeberapa Negara maju mendapatkan perhatian sangad serius. Tidak
sekedar memperoleh anggaran dari Negara
yang cukup besar, namun juga memiliki sistem pendidikan yang cerdas.
Negara Jepang misalnya,
pasca perang dunia kedua hal pertama yang dilakukan oleh Kaisar Jepang adalah
melakukan pembenahan sistem pendidikanya. Ia melakukan restorasi dalam
pembenahan pendidikanya. Program restorasi ini dengan mengirim banyak pelajarnya
untuk menempuh pendidikan ke luar negeri. Seperti Amerika, Inggris, German dan
Negara Eropa lainya. Alhasil, Jepang
saat ini sangad dikenal dengan tekhnologinya dikawsan Asia khususnya.
Hal yang sama
juga terapkan oleh Negara tirai bambu, mereka juga mengirimkan banyak
pelajarnya ke beberapa Negara Eropa. Dampak yang luar biasa mulai dirasakan
oleh Negara diseluruh kawasan, baik Asia bahkan Eropa. Produk elektronik
ciptaan Cina pun mulai membanjiri pasaran, bahkan produknya mampu menjadi jawara di Negara lain.
Dari dua Negara
diatas harusnya bangsa ini mampu memetik hikamhnya. Betapa luar biasa dampak
yang ditimbulkan oleh pendidikan yang berkualitas. Sumber daya manusia yang
memiliki intelegensi tinggi akan mampu dihasilkan. Sehingga, percepatan laju
sebuah Negara dapat terwujud. Memang tidak dapat dipungkiri, hal itu
membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Usaha, kerja keras serta dukungan penuh dari berbagai pihak harus terus
digelorakan. Sebab, kemajuan dunia pendidikan merupakan tugas serta amanah
bersama yang harus dijalankan, demi tercapainya cita-cita bangsa untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sector ekonomi,
teknologi, keamanan, pangan dan kesehatan Negeri ini akan mampu dicapai dengan
baik terletak pada pendidikan yang ditempuh putra putri bangsa ini, karena
kemajuan sebuah Negara sangad sarad dengan pendidikanya. Oleh sebab itulah, Sinergisitas
Seluruh komponen bangsa harus dilakukan, terus berfikir aktif dalam
mengupayakan kemajuan pendidikan di negeri ini. Peranan pemerintah dalam
mendorong laju pendidikan sangatlah penting. Namun, pendidikan bangsa ini akan mampu
tercapai dengan baik jika semua lapisan termasuk masyarakat turut serta
didalamnya.
Menyoal
Komersialisasi Pendidikan
Perayaan tentu tak etis hanya berakhir
dengan perayaan itu sendiri yang seringkali menyisakan romantisme semu serta
pesta pora tanpa kesadaran. Pada bulan Mei tahun ini, bangsa kita telah
memeringati dua momen besar yaitu Hari Pendidikan Nasional 2 Mei dan
kebangkitan Nasional 20 Mei. Keduanya merupakan tonggak utama penyokong
berdirinya Negara – bangsa Indonesia (Nation state of Indonesia). Pendidikan
memerdekakan nalar pikir anak bangsa, sementara kebangkitan nasional
memerdekakan jiwa raga dari belenggu penjajahan.
Didalam
pembukaan UUD 1945 telah termaktub tujuan bangsa Indonesia dengan jelas, yakni
mencerdaskan kehidupan bangsa. Disebutkan pula dalam UU RI nomor 20
tahun 2003 pasal 4, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai
kultural dan kemajemukan bangsa. Namun, amanat tersebut nampaknya masih jauh
dari harapan.
Jika Ki Hajar Dewantara masih hidup
atau guru Umar Bakri itu sungguh nyata adanya, tentu mereka tidak akan tinggal
diam menghadapi fenomena bisnis pendidikan bangsa ini. Setidaknya bukan keadaan
ini yang beliau kehendaki. Khusus Ki Hajar Dewantara –pendidik dan pejuang
bangsa – seorang yang menyadari pentingnya investasi sumber daya manusia
melalui pendidikan. Indonesia sebagai negara yang mencantumkan cita – cita
“mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam pembukaan undang – undang dasar, sudah selayaknya
menjadikan pendidikan sebagai prioritas dalam membangun bangsa.
Selama hampir 68 tahun merdeka, bangsa
kita justru seolah kehilangan jati diri. Sekolah – sekolah merasa hebat jika
bertarif mahal dan berstandar internasional bahkan guru pun harus impor dari
negri sebrang. Bahasa Indonesia tidak lagi menjadi bahasa pengantar dan pemersatu
di sekolah. Jika seperti ini keadaannya lalu dimana tempat untuk Indonesia tanah
air, bangsa dan bahasa seperti yang dikumandangkan para pemuda pada tahun 1928?
Apakah cukup kata Indonesia dalam peta dunia, sedangkan Nusantara tak lagi
dipenuhi “jiwa” Indonesia?
Sekolah seperti yang ditulis Louis
Althusser merupakan salah satu Idiological State Apparatus dimana negara bisa
“memaksakan” idiologi, nilai atau kehendaknya melalui institusi ini. Dalam arti
positif, ia bisa menjadi media ampuh menamkan rasa nasionalisme, cinta tanah
air dan penghayatan pada sejarah bangsa. Namun apa daya, pendidikan kita telah
menjadi ajang mencari untung. Penyelenggara pendidikan mencari untung dari
biaya pendidikan yang dibayarkan siswa, siswa juga mengadu untung dengan ijazah
yang diperolehnya. Pendidikan kemudian berbelok tujuan dari upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa menjadi upaya berburu legalisasi proses belajar.
Sementara itu, belum tentu benar
sertifikat yang dikeluarkan lembaga pendidikan berbanding lurus dengan kualitas
apalagi kapabilitas intelektual peserta didik, terlebih lagi jika kelulusan
masih ditentukan dengan uji penyeragaman seperti yang berlangsung hingga saat
ini. UN sama sekali belum memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan. Namun,
sudahkah para pengambil kebijakan yang mengemban amanat rakyat memahami hal
ini?
Keringat dan darah para pejuang
pendidikan tak selayaknya dibayar dengan “melacurkan” pendidikan dengan
hitungan materi semata. Dalam iklim binis “jasa pendidikan” seperti sekarang
ini, wajar saja jika selama kurun 86 tahun sejak Ki Hajar Dewantara merintis
Taman Siswa pendidikan kita tidak lagi melahirkan banyak pemikir besar sekelas
Ki Hajar Dewantoro sendiri atau rekan - rekan sezamannya seperti Sukarno,
Hatta, Syahrir, dan Tan Malaka yang juga penggagas pendidikan untuk rakyat.
Indonesia bukanlah negara bangsa
semata, tapi juga sebuah cita – cita bagaimana umat manusia hidup bermartabat
selaras dengan harkat kemanusiaannya di bumi Nusantara. Jauh hari founding
fathers kita sudah mengingatkan bahwa kemerdekaan hanyalah jembatan emas menuju
Indonesia yang adil makmur sejahtera. Karenanya dalam mengisi kemerdekaan,
suara dan keinginan rakyat adalah sabda yang harus didahulukan
penyelenggaraannya, bukan malah memperjual belikan sesuatu yang memang hak
rakyat. Dalam hal ini pendidikan atau hak untuk menjadi cerdas dan bermartabat.