Kamis, 19 September 2013

Urgensitas Pendidikan



Urgensitas  Pendidikan
Dunia pendidikan pada setiap Negara memiliki peranan serta fungsi yang sangat vital. Erat kaitanya dengan kemajuan suatu bangsa. Disamping kesehatan serta perekonomian, pendidikan juga dijadikan sebagai barometer dalam menilai kemajuan  sebuah bangsa.  Maka sebab itulah,  Negara terus melakukan upaya dalam membenahi sistem pendidikanya.
Bila diamati, sector pendidikan dibeberapa Negara maju  mendapatkan perhatian sangad serius. Tidak sekedar  memperoleh anggaran dari Negara yang cukup besar, namun juga memiliki sistem pendidikan yang cerdas.
Negara Jepang misalnya, pasca perang dunia kedua hal pertama yang dilakukan oleh Kaisar Jepang adalah melakukan pembenahan sistem pendidikanya. Ia melakukan restorasi dalam pembenahan pendidikanya. Program restorasi ini dengan mengirim banyak pelajarnya untuk menempuh pendidikan ke luar negeri. Seperti Amerika, Inggris, German dan Negara Eropa lainya.  Alhasil, Jepang saat ini sangad dikenal dengan tekhnologinya dikawsan Asia khususnya.
Hal yang sama juga terapkan oleh Negara tirai bambu, mereka juga mengirimkan banyak pelajarnya ke beberapa Negara Eropa. Dampak yang luar biasa mulai dirasakan oleh Negara diseluruh kawasan, baik Asia bahkan Eropa. Produk elektronik ciptaan Cina pun mulai membanjiri pasaran, bahkan produknya  mampu menjadi jawara di Negara lain.
Dari dua Negara diatas harusnya bangsa ini mampu memetik hikamhnya. Betapa luar biasa dampak yang ditimbulkan oleh pendidikan yang berkualitas. Sumber daya manusia yang memiliki intelegensi tinggi akan mampu dihasilkan. Sehingga, percepatan laju sebuah Negara dapat terwujud. Memang tidak dapat dipungkiri, hal itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar.  Usaha, kerja keras serta dukungan penuh dari berbagai pihak harus terus digelorakan. Sebab, kemajuan dunia pendidikan merupakan tugas serta amanah bersama yang harus dijalankan, demi tercapainya cita-cita bangsa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sector ekonomi, teknologi, keamanan, pangan dan kesehatan Negeri ini akan mampu dicapai dengan baik terletak pada pendidikan yang ditempuh putra putri bangsa ini, karena kemajuan sebuah Negara sangad sarad dengan pendidikanya. Oleh sebab itulah, Sinergisitas Seluruh komponen bangsa harus dilakukan, terus berfikir aktif dalam mengupayakan kemajuan pendidikan di negeri ini. Peranan pemerintah dalam mendorong laju pendidikan sangatlah penting. Namun, pendidikan bangsa ini akan mampu tercapai dengan baik jika semua lapisan termasuk masyarakat turut serta didalamnya.
Menyoal Komersialisasi Pendidikan
Perayaan tentu tak etis hanya berakhir dengan perayaan itu sendiri yang seringkali menyisakan romantisme semu serta pesta pora tanpa kesadaran. Pada bulan Mei tahun ini, bangsa kita telah memeringati dua momen besar yaitu Hari Pendidikan Nasional 2 Mei dan kebangkitan Nasional 20 Mei. Keduanya merupakan tonggak utama penyokong berdirinya Negara – bangsa Indonesia (Nation state of Indonesia). Pendidikan memerdekakan nalar pikir anak bangsa, sementara kebangkitan nasional memerdekakan jiwa raga dari belenggu penjajahan.
Didalam pembukaan UUD 1945 telah termaktub tujuan bangsa Indonesia dengan jelas, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.  Disebutkan pula dalam UU RI nomor 20 tahun 2003 pasal 4, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Namun, amanat tersebut nampaknya masih jauh dari harapan.
Jika Ki Hajar Dewantara masih hidup atau guru Umar Bakri itu sungguh nyata adanya, tentu mereka tidak akan tinggal diam menghadapi fenomena bisnis pendidikan bangsa ini. Setidaknya bukan keadaan ini yang beliau kehendaki. Khusus Ki Hajar Dewantara –pendidik dan pejuang bangsa – seorang yang menyadari pentingnya investasi sumber daya manusia melalui pendidikan. Indonesia sebagai negara yang mencantumkan cita – cita “mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam pembukaan undang – undang dasar, sudah selayaknya menjadikan pendidikan sebagai prioritas dalam membangun bangsa.
Selama hampir 68 tahun merdeka, bangsa kita justru seolah kehilangan jati diri. Sekolah – sekolah merasa hebat jika bertarif mahal dan berstandar internasional bahkan guru pun harus impor dari negri sebrang. Bahasa Indonesia tidak lagi menjadi bahasa pengantar dan pemersatu di sekolah. Jika seperti ini keadaannya lalu dimana tempat untuk Indonesia tanah air, bangsa dan bahasa seperti yang dikumandangkan para pemuda pada tahun 1928? Apakah cukup kata Indonesia dalam peta dunia, sedangkan Nusantara tak lagi dipenuhi “jiwa” Indonesia?
Sekolah seperti yang ditulis Louis Althusser merupakan salah satu Idiological State Apparatus dimana negara bisa “memaksakan” idiologi, nilai atau kehendaknya melalui institusi ini. Dalam arti positif, ia bisa menjadi media ampuh menamkan rasa nasionalisme, cinta tanah air dan penghayatan pada sejarah bangsa. Namun apa daya, pendidikan kita telah menjadi ajang mencari untung. Penyelenggara pendidikan mencari untung dari biaya pendidikan yang dibayarkan siswa, siswa juga mengadu untung dengan ijazah yang diperolehnya. Pendidikan kemudian berbelok tujuan dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi upaya berburu legalisasi proses belajar.
Sementara itu, belum tentu benar sertifikat yang dikeluarkan lembaga pendidikan berbanding lurus dengan kualitas apalagi kapabilitas intelektual peserta didik, terlebih lagi jika kelulusan masih ditentukan dengan uji penyeragaman seperti yang berlangsung hingga saat ini. UN sama sekali belum memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan. Namun, sudahkah para pengambil kebijakan yang mengemban amanat rakyat memahami hal ini?
Keringat dan darah para pejuang pendidikan tak selayaknya dibayar dengan “melacurkan” pendidikan dengan hitungan materi semata. Dalam iklim binis “jasa pendidikan” seperti sekarang ini, wajar saja jika selama kurun 86 tahun sejak Ki Hajar Dewantara merintis Taman Siswa pendidikan kita tidak lagi melahirkan banyak pemikir besar sekelas Ki Hajar Dewantoro sendiri atau rekan - rekan sezamannya seperti Sukarno, Hatta, Syahrir, dan Tan Malaka yang juga penggagas pendidikan untuk rakyat.
Indonesia bukanlah negara bangsa semata, tapi juga sebuah cita – cita bagaimana umat manusia hidup bermartabat selaras dengan harkat kemanusiaannya di bumi Nusantara. Jauh hari founding fathers kita sudah mengingatkan bahwa kemerdekaan hanyalah jembatan emas menuju Indonesia yang adil makmur sejahtera. Karenanya dalam mengisi kemerdekaan, suara dan keinginan rakyat adalah sabda yang harus didahulukan penyelenggaraannya, bukan malah memperjual belikan sesuatu yang memang hak rakyat. Dalam hal ini pendidikan atau hak untuk menjadi cerdas dan bermartabat.